Rabu, 11 November 2009

Bisnis Lahan Parkir



Sebut saja Pak Dayat. Seorang pria yang berasal dari Indonesia bagian timur ini berusia sekitar 40 tahunan ke atas dan tinggal seorang diri di sekitar komplek rumahku. Tak seperti kebanyakan orang yang berasal dari timur Indonesia, yang bila berbicara selalu dengan nada tinggi dan cepat, pak Dayat malah selalu berbicara nada pelan dan lambat. Pernah suatu hari aku bertanya kepada beliau saat berkunjung ke rumahnya untuk mengembalikan sebuah buku, “Pak, kok bapak tak sepserti orang Indonesia bagian timur lainnya, yang bila berbicara suka cepat dan tinggi nadanya. Memangnya bapak sudah berapa lama tinggal di Jakarta?”
“Hahahaha… Agus.. Agus… saya ini sudah 30 tahun tinggal di Jakarta, logat bicara Ambon saja sudah tak bisa,” jawabnya.
“Wah..wah 30 tahun? Sudah lama sekali bapak di Jakarta,” simpulku. Hmmm... 30 tahun hidup sendiri di Jakarta, berjuang sendirian untuk hidup. Sungguh sebuah pengalaman yang menarik dan berharga.
„Ya, Agus. Tahun 1979 saya hijrah ke ibukota dengan harapan mendapat rezeki yang lebih baik, mendapat penghidupan yang layak lah. Bosan saya hidup di kampung halaman dengan pekerjaan yang itu-itu mulu dengan pendapatan yang pas-pasan,sedangkan tuntutan biaya untuk keluarga di rumah cukup tinggi. Benar sih saat awal-awal di Jakarta saya mendapatkan apa yang saya cari, uang banyak, pekerjaan yang lumayan. Tapi semua itu cepat lenyap, gus ketika saya mulai terjebak di pergaulan yang salah. Uang yang saya dapatkan setiap bulan saya permainkan di meja judi bersama teman-teman. Sungguh semua yang dulu pernah saya impikan hilang dengan cepat,“ kenang pak Dayat.
Aku tertegun mendengar cerita pak Dayat. Astagfirullahal ‘adzim... Sungguh rugi sekali bila kita sebagai hamba Allah tak bisa memanfaatkan nikmat-nikmat yang telah Dia berikan. Lalu terpikir olehku kemudian apa sebenarnya pekerjaan pak Dayat, kalau memang dia dahulu pernah di puncak prestasi kerja, mengapa sekarang di usia 40 tahun lebih beliau hanya diam di rumah. Bagaimana beliau bisa mecukupi kebutuhan sehari-harinya, uang dari mana? Kuberanikan diri untuk bertanya akan hal itu.
“Maaf pak, memangnya pekerjaan bapak dahulu apa, hingga bisa membuat bapak 30 tahun bertahan tinggal di Jakarta?” tanyaku kemudian.
“Agus, dari dulu hingga sekarang pekerjaan saya masih sama, jadi juragan lahan parkir di beberapa pusat perbelanjaan ibukota,” jawabnya.
“Juragan lahan parkir? Pekerjaan apa itu pak? Bukankah lahan parkir itu dikelola oleh pemda setempat?” spontan aku memberondong pak Dayat dengan berbagai pertanyaan. Terus terang aku baru dengar ada profesi semacam ini.
„Ya... juragan parkir maksudnya adalah orang yang memiliki hak atas pemasukan biaya parkir di sebuah lahan parkir. Cara bekerjanya, bila kalau kamu punya modal kira-kira 20 juta saja,kau bisa menyewa tempat-tempat parkir di lokasi strategis. Jadi setiap kendaraan yang memarkirkan diri di lahan tersebut akan membayar parkir ke kamu,“ jelasnya.
„Ooo.. begitu pak, jadi bapak menunggui mobil-mobil tersebut setiap hari?“ kataku.
“Tidak.. bukan demikian. Gak perlu nungguin semua mobil setiap hari, gak perlu menghitung berapa mobil yang masuk tiap jam, berapa mobil yang keluar tiap jam. Saya akan suruh karyawan saya di lapangan untuk menjadi tukang parkir “ lanjutnya.
“ooo…” kembali saya hanya ber-oo panjang. Wah wah wah… pekerjaan yang cukup menarik juga ya, pikirku. Tapi kalau karyawannya membohongi kita, bagaimana?Bisa saja kan anak buah berbohong, bilangnya hanya 30 mobil, ternyata ada 50 mobil yang parkir sehari. Seolah membaca pikiranku pak Dayat berkata kembali.
“Saya tahu betul, gus. Kalau akhir bulan anak buah dapat berapa, kalau awal bulan mereka dapat berapa, begitu juga kalau hari itu hujan dapat berapa, terus kalau hari libur dapat berapa. Saya sudah hapal betul, gus. Jadi mereka gak bakal bisa bohongin saya,“ terangnya.
“hehehe… Bapak sangat berpengalaman sekali ya di bidang parkir memarkir,” balasku.
“Eh, tapi pak bukannya setiap lahan parkir itu ada hak untuk pemerintahnya? Semacam biaya retribusi gitu. Saya kira pemda setempat yang memiliki hak atas lahan tersebut, ternyata individu bisa punya hak juga,”tanyaku kembali ingin tahu.
“Ya memang pemerintah juga punya hak atas ketertiban lahan parkir. Saya sebagai pemilik lahan parkir selalu rutin membayar sekian persen atas pendapatan saya di lahan parkir tersebut. Bukan cuman ke departemen perhubungan tapi ke aparat polisi yang tiap hari lewat pun harus diberi,” jelas pak Dayat menerangkan birokrasi uang tertib dan damai di lahan parkir.
Tak berapa lama kemudian adzan dzuhur menghentikan obrolan kita, akupun pamit pulang.
“Permisi pak, saya pamit dulu sudah dzuhur.O, iya pak ini bukunya terima kasih pak. Assalamu’alaikum” kataku sambil mengembalikan sebuah buku berjudul “Jangan mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian”.
“Ok, gus. Wa’alaikum salam,”balas pak Dayat.

Di perjalanan pulang terpikir olehku, sungguh tadi itu adalah sebuah obrolan yang menarik dan bermanfaat bagiku pribadi yang akan terjun di lingkungan kerja nanti. Ehmmm… ternyata bila kita mau berpikir kreatif dan pintar melihat peluang, apapun bisa kita jadikan profesi. Tapi tolong digarisbawahi selama profesi tersebut halal dan baik.

2 komentar: