Minggu, 22 November 2009

Polwan cilik berkata...


Seperti biasa ahad pagi aku bersama keluarga tercinta berlari pagi. Kami memang membiasakan setiap ahad pagi untuk ber-jogging bersama. Track jogging yang kami tempuh adalah rumah - taman ketang -ketang, jalan Nilam - Terminal Rawamangun - Pasar Rawamangun. Ehmm tapi joggingnya ga pakai pp, biasanya perginya aja, kalau pulangnya ya pake angkot… hehehe capek juga lah kalau pulang pergi mesti by foot. Jam dinding rumahku berdentang 5 kali. Dari bawah ayah sudah meneriaki kami, “Nuruuul, Sifaaa ayo cepat turun, kita lari pagi. Jangan malas!“

Kami yang sedang menyikat gigi segera berkumur-kumur lalu turun. Ayah kami, yang pensiunan TNI ini, memang selalu bersemangat untuk lari pagi. Beliau pernah menyampaikan, lari pagi selain baik untuk kesehatan juga mengingatkannya pada latihan fisik ketika beliau bersekolah di taruna nusantara. Namun kami berdua puterinya tak satupun menuruni hobi beliau yang satu ini. Mana tahan dengan rasa kantuk yang menerjang. Hoammmmmmmm… (kok saya yang nulis jadi menguap juga ya)

„Ini sepatu kalian,“kata ibu seraya menyerahkan sepatu kets kami yang sudah lusuh. Kapan ya bisa beli yang baru, tanyaku dalam hati. Tak berapa lama kemudian kami sudah meniti langkah di jalanan. Dan ayah seperti biasa selalu berjalan mendahului kami, selalu bersemangat dalam melangkah. Ckckck... ayah oke deh, hatiku bergumam. Selalu siaga dan terdepan memang menjadi ciri khas beliau, tak hanya di keluarga tapi juga di lingkungan kerjanya.

Tak terasa pasar rawamangun sudah tampak di depan mata. Itu garis finish lari pagi kami. Setelah itu biasanya kakak akan menemani ibu berbelanja di pasar, membeli bahan makanan untuk seminggu. Sedangkan saya dengan ayah akan menunggu ibu dan kakak di tukang bubur yang ada di pojok pasar. Sambil menunggu ibu berbelanja, ayah dan saya memesan bubur ayam. Nyam...nyam.. bubur ayam ini laris sekali kalau kita terlambat sedikit, wah bisa-bisa kehabisan deh. Saat kami berdua makan bubur ayam tiba-tiba terdengar suara peluit seperti milik polisi. Priiit... priiit...priiiit... Kami mencari sumber suara tersebut. Tertangkap oleh mata kami berdua sesosok manusia bertubuh kecil lengkap dengan pakaian polisi lalu lintas. Waah.. ada polwan cilik nih. Sosok ini begitu nyaring meniup peluit sambil tangannya sibuk bergerak layaknya polisi yang sedang bertugas di jalan raya. Pemandangan yang menarik ini cukup menyita perhatianku. Jarang-jarang kan ada polwan cilik di pasar rawamangun. Tak berapa lama kemudian bubur ayam sudah ludes kusantap. Ayah yang sedang membaca koran sehabis makan kutinggalkan sejenak untuk menghampiri sang polwan cilik.

„Assalamu’alaikum adik“ salamku.

„wa’alaikum salam kak“ jawabnya.

„sedang apa nih? Kok berpakaian seperti polisi?“tanyaku kemudian.

„heeeh.. saya sedang latihan menjadi polisi kak. Minggu depan di sekolah saya akan ada lomba kostum,kak. Saya akan memakai kostum polisi“ jawab sambil nyengir.

„O.. begitu toh, terus kenapa adik memilih pakaian polisi?“ lanjutku.

„Sebab saya ingin menjadi polisi, kak“ jawabnya mantap.

„Hebat!!!Ehmm... trus kenapa ingin jadi polwan?“tanyaku lagi.

„Supaya jakarta aman dari pencopet,kak“jawabnya polos

Wah… mulia sekali cita-cita mu dik, aku berbicara dalam hati. Salut aku padanya,ia begitu yakin dan optimis dalam meraih cita, ehm.. tak seperti muridku di SMA yang jawabannya masih saja tak konkrit, kurang jelas maunya jadi apa ketika ditanya tentang cita-cita. Seorang murid pernah menjawab ketika suatu saat saya bertanya tentang cita-citanya.

“Cita-cita,bu?yaa.. jadi orang yang berguna bagi lingkungan sekitar bu keluarga, teman, juga bangsa dan negara.”

Yaaa elaah.. jadi tukang ronda, tukang sampah juga berguna bagi lingkungan sekitar,batinku dalam hati. Menurut saya, sebaiknya kita mulai memilih cita-cita secara konkrit dan jelas, tak samar-samar. Jangan abstrak. Karena dengan menentukan cita-cita yang konkrit kita akan mudah mewujudkannya dengan langkah konkrit pula.
Awan mendung menggelayut di angkasa. Khawatir hujan turun, akupun segera pamit berpisah dengan si polwan cilik ini.

„Dik, semoga sukses ya lomba kostumnya. Mudah-mudahan menang. Hehehe. Aku pulang dulu ya, mau hujan. Assalamu‘alaikum“ pamitku undur diri.

„Makasih kak doanya, wa’alaikum salam“ balasnya.

Aku berbalik badan, menjauhinya yang masih sibuk dengan peluit nyaringnya. Dalam benak ini aku kembali mereform sesungguhnya apa cita-citaku. Berusaha konkrit dan fokus dalam menyusun rencana hidup. Dengan penuh harap, aku berdoa, ya Rabb kabulkanlah permintaan hamba untuk itu...

Sebuah narasi -yang terinspirasi dari polwan cilik- untuk siapa saja yang butuh semangat dalam meraih cita (termasuk PENULIS). Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar